Hati - hati Dengan Air Kencing Bayi

Masalah najis bukanlah
perkara sepele, melainkan masalah yang sangat urgen, bahkan berkaitan dengan ibadah yang

paling besar, yaitu shalat. Oleh karena itu para

ulama biasa membahas masalah najis dan
kesucian sebelum mereka membahas shalat dan
ibadah-ibadah lainnya.
Namun amatlah disayangkan, kaum muslimah
yang notabene berperan sebagai ibu terkadang
tidak memahami masalah ini. Yang banyak
ditemui, mereka tidak berhati-hati dengan air
kencing anak-anak mereka. Seorang ibu,
contohnya, melihat bayinya yang tergolek di
tempat tidurnya pipis. Dengan segera dilepasnya
popok si bayi beserta perlengkapannya yang
terkena air kencing, lalu dionggokkannya begitu
saja di atas tempat tidur. Setelah itu langsung
digantinya dengan popok kering, atau kadang dia
bubuhkan lebih dulu bedak bayi di tempat
keluarnya air kencing. Beres sudah, pikirnya.
Ibu yang lain, anaknya yang sudah mulai
merangkak mengompol di lantai. Bergegas
diangkat anaknya, dilepasnya celana basah dan
digunakan sekaligus untuk mengusap lantai, lalu
dia tinggalkan begitu saja lantai yang berbekas
air kencing si anak. Tak terpikirkan anak-anaknya
yang lain atau siapa pun yang sebentar lagi akan
melewati bekas air kencing tadi dan menyebarkan
ke mana-mana dengan langkah kakinya.
Bisa jadi yang seperti ini terjadi karena memang
mereka tidak mengerti tentang najisnya air
kencing anak, walaupun si anak masih bayi.
Karena itu, perlu tentunya mereka mengetahui
masalah ini. Lebih-lebih –sekali lagi– hal ini
berkaitan dengan ibadah shalat.
Sebagian ibu mungkin menyangka, air kencing
bayi –terutama bayi yang masih mengonsumsi
ASI eksklusif– bukanlah najis. Padahal telah
datang keterangan dari Rasulullah n tentang
najisnya air kencing bayi laki-laki maupun
perempuan. Sebagaimana dikisahkan dari Ummu
Qais bintu Mihshan:
ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺃَﺗَﺖْ ﺑِﺎﺑْﻦٍ ﻟَﻬَﺎ ﺻَﻐِﻴْﺮٍ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻛُﻞِ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ n، ﻓَﺄَﺟْﻠَﺴَﻪُ
ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ n ﻓِﻲ ﺣِﺠْﺮِﻩِ، ﻓَﺒَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻰ ﺛَﻮْﺑِﻪِ، ﻓَﺪَﻋَﺎ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﻓَﻨَﻀَﺤَﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻐْﺴِﻠْﻪُ
“Ummu Qais pernah membawa bayi laki-lakinya
yang masih kecil dan belum makan makanan
kepada Rasulullah n, lalu Rasulullah n
mendudukkan anak itu di pangkuan beliau.
Kemudian anak itu kencing di baju beliau, maka
beliau pun meminta dibawakan air, lalu beliau
memerciki pakaian beliau (yang terkena air
kencing, pent.) dan tidak mencucinya.” (HR. Al-
Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t
menjelaskan, “Yang dimaksud makanan di sini
adalah segala makanan kecuali air susu yang dia
minum, atau kurma yang digunakan untuk
mentahniknya, ataupun madu yang diberikan
untuk pengobatan dan yang lainnya, sehingga
yang diinginkan di sini si anak belum diberi
makan apapun kecuali air susu semata-
mata.” (Fathul Bari, 1/425)
Dalil yang lainnya, dari Abus Samh z mengatakan:
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺧْﺪُﻡُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ n ، ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞَ ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻟِّﻨِﻲ ﻗَﻔَﺎﻙَ . ﻗَﺎﻝَ :
ﻓَﺄُﻭَﻟِّﻴﻪِ ﻗَﻔَﺎﻱَ ﻓَﺄَﺳْﺘُﺮُﻩُ ﺑِﻪِ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﺤَﺴَﻦٍ ﺃَﻭْ ﺣُﺴَﻴْﻦٍ c ﻓَﺒَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻰ ﺻَﺪْﺭِﻩِ،
ﻓَﺠِﺌْﺖُ ﺃَﻏْﺴِﻠُﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻳُﻐْﺴَﻞُ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔِ، ﻭَﻳُﺮَﺵُّ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺍﻟْﻐُﻼَﻡِ
“Aku biasa melayani Nabi n, bila beliau ingin
mandi biasanya beliau mengatakan padaku,
‘Balikkan badanmu!’ Lalu aku balikkan badanku
dan aku tutupi beliau dengannya. Suatu ketika
Hasan –atau Husain– dibawa kepada beliau, lalu
kencing di dada beliau. Aku pun datang untuk
mencucinya. Maka beliau mengatakan, “Kencing
anak perempuan dicuci dan kencing anak laki-laki
dicucuri air.” (HR. Abu Dawud no. 376,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Riwayat yang lainnya dari istri Rasulullah n,
‘Aisyah :
ﺃُﺗِﻲَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ n ﺑِﺼَﺒِﻲٍّ ﻳُﺤَﻨِّﻜُﻪُ، ﻓَﺒَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﺄَﺗْﺒَﻌَﻪُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ
“Pernah dibawa ke hadapan Rasulullah n seorang
bayi laki-laki yang hendak beliau tahnik, lalu bayi
itu mengencingi beliau, maka beliau pun
mengiringinya dengan air.” (HR. Al-Bukhari no.
222 dan Muslim no. 286)
Selain hadits-hadits yang telah disebutkan, masih
banyak hadits lain yang menerangkan najisnya air
kencing bayi.
Bila hal ini telah jelas, selayaknya kita harus
mengetahui pula cara menyucikannya. Apabila si
bayi laki-laki dan belum mengonsumsi makanan
utama apapun kecuali air susu, maka dihilangkan
dengan cara digenangi air. Sementara bayi
perempuan atau bayi laki-laki yang telah makan
makanan lain selain air susu, maka kencingnya
disucikan dengan cara dicuci.
Hal ini telah diterangkan oleh hadits-hadits di
atas maupun dalam hadits yang lain. Di
antaranya disampaikan oleh Lubabah bintu Al-
Harits :
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺤُﺴَﻴْﻦُ ﺑْﻦُ ﻋَﻠِﻲٍّ c ﻓِﻲ ﺣِﺠْﺮِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ n ﻓَﺒَﺎﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﺍﻟْﺒَﺲْ
ﺛَﻮْﺑًﺎ ﻭَﺃَﻋْﻄِﻨِﻲ ﺇِﺯَﺍﺭَﻙَ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻏْﺴِﻠَﻪُ . ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻐْﺴَﻞُ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺍﻟْﺄُﻧْﺜَﻰ،
ﻭَﻳُﻨْﻀَﺢُ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ
“Al-Husain bin ‘Ali pernah berada di pangkuan
Rasulullah n, lalu kencing di situ. Aku pun
mengatakan, ‘Pakailah pakaian yang lain dan
berikan padaku sarungmu wahai Rasulullah,
hingga nanti aku cuci’. Beliau pun menjawab,
‘Sesungguhnya kencing anak perempuan dicuci
dan kencing anak laki-laki diperciki dengan
air’.” (HR Abu Dawud no. 375, dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi
Dawud: hasan shahih)
Hadits ini menunjukkan dengan jelas adanya
perbedaan antara kencing bayi laki-laki dan bayi
perempuan dalam cara membersihkannya.
Kencing bayi laki-laki cukup dipercik dengan air
dan tidak perlu dicuci, sementara kencing bayi
perempuan harus dicuci dan tidak cukup hanya
diperciki air. (‘Aunul Ma’bud, Kitabuth Thaharah
bab Baulish Shabiy Yushibuts Tsaub)
Ali bin Abi Thalib mengatakan pula:
ﻳُﻐْﺴَﻞُ ﺑَﻮْﻝُ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔِ ﻭَﻳُﻨْﻀَﺢُ ﺑَﻮْﻝُ ﺍﻟْﻐُﻼَﻡِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻌَﻢْ
“Kencing bayi perempuan dicuci dan kencing bayi
laki-laki dipercik, selama bayi itu belum makan
makanan.” (HR. Abu Dawud no. 377, dikatakan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan
Abi Dawud: shahih mauquf)
Dalam riwayat yang lain ada tambahan dari
Qatadah:
ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻌَﻤَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻃَﻌِﻤَﺎ ﻏُﺴِﻼَ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ
“Ini selama keduanya belum makan makanan.
Jika keduanya telah makan makanan, maka
sama-sama dicuci.” (HR. Abu Dawud no. 378,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Al-Hasan Al-Bashri meriwayatkan dari ibunya:
ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺃَﺑْﺼَﺮَﺕْ ﺃُﻡَّ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺗَﺼُﺐُّ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻮْﻝِ ﺍﻟْﻐُﻼَﻡِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻌَﻢْ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻃَﻌِﻢَ
ﻏَﺴَﻠَﺘْﻪُ، ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗَﻐْﺴِﻞُ ﺑَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔِ
“Dia melihat Ummu Salamah menuangkan air
pada kencing bayi laki-laki selama bayi itu belum
makan makanan. Ketika bayi itu telah makan,
Ummu Salamah mencucinya. Dia juga mencuci
kencing bayi perempuan.” (HR. Abu Dawud no.
379, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Demikian tata cara penyucian yang diajarkan
dalam Sunnah Rasulullah n, walaupun memang
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
dalam hal cara penyucian air kencing bayi ini,
sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam An-
Nawawi t. Beliau mengatakan, “Para ulama
berselisih dalam hal cara penyucian kencing bayi
laki-laki dan perempuan menjadi tiga pendapat.
Pendapat yang benar, masyhur dan terpilih,
kencing bayi laki-laki cukup dipercik (dicucuri)
air. Sementara kencing bayi perempuan tidak
cukup dipercik (dicucuri) air, tetapi harus dicuci
sebagaimana najis yang lain. Pendapat kedua,
kencing bayi laki-laki dan perempuan cukup
dipercik (dicucuri) air. Pendapat ketiga, kedua-
duanya tidak cukup hanya dipercik (dicucuri) air.
Dua pendapat ini dihikayatkan oleh penulis At-
Tatimmah dari kalangan sahabat-sahabat kami
maupun selainnya. Dua pendapat ini adalah
pendapat yang syadz (aneh) dan lemah.
Di antara ulama yang berpendapat dibedakannya
(penyucian kencing bayi laki-laki dan perempuan,
pent.) adalah ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Atha’ bin Rabah,
Al-Hasan Al-Bashri, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin
Rahawaih, dan sekelompok ulama lain dari
kalangan salaf dan ashabul hadits, juga Ibnu
Wahb dari kalangan murid-murid Al-Imam Malik,
dan diriwayatkan pula dari Abu Hanifah. Adapun
di antara yang berpendapat kedua-duanya harus
dicuci adalah Abu Hanifah dan Malik dalam
pendapat yang masyhur dari mereka berdua,
serta penduduk Kufah.
Ketahuilah, perbedaan pendapat ini hanya terjadi
dalam hal tata cara penyucian sesuatu yang
terkena kencing bayi laki-laki. Namun tidak ada
perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal
kenajisannya. Sebagian sahabat kami telah
menukilkan adanya kesepakatan ulama tentang
najisnya kencing bayi laki-laki, dan tidak ada
yang menyelisihinya kecuali Dawud Azh-Zhahiri.
Al-Khaththabi dan ulama yang lain mengatakan,
pembolehan memerciki kencing bayi laki-laki
menurut orang yang berpendapat pembolehannya
bukanlah karena kencing bayi laki-laki ini tidak
najis, melainkan sebagai peringanan dalam
menghilangkannya, sehingga inilah pendapat yang
benar. Adapun pendapat yang dihikayatkan oleh
Abul Hasan ibnu Baththal, kemudian Al-Qadhi
‘Iyadh dari Asy-Syafi’i dan selainnya –yaitu
pendapat bahwa kencing bayi laki-laki suci
sehingga hanya dipercik– merupakan hikayat
yang batil sama sekali.” (Al-Minhaj, 3/194)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t
pernah pula ditanya tentang hukum kencing bayi
yang mengenai pakaian. Beliau pun menjawab,
“Yang benar dalam masalah ini, kencing bayi
laki-laki yang baru mengonsumsi air susu saja
adalah najis yang ringan dan penyuciannya cukup
hanya dengan percikan, yaitu digenangi dengan
air –dituangi air sampai terliputi oleh air itu–
tanpa dikucek maupun diperas. Hal ini telah pasti
adanya dari Nabi, bahwa pernah seorang bayi
laki-laki dibawa ke hadapan beliau, lalu beliau
letakkan di pangkuan beliau, kemudian bayi itu
kencing di situ. Beliau pun meminta air, lalu
menuangkannya pada kencing tersebut tanpa
mencucinya. Adapun kencing bayi perempuan,
maka harus dicuci, karena pada asalnya air
kencing itu najis dan wajib dicuci. Hanya saja
dikecualikan air kencing bayi laki-laki yang masih
kecil karena sunnah menunjukkan hal
ini.” (Majmu’ Fatawa, 11/249)
Terkadang air kencing tak hanya mengenai
pakaian, tapi juga lantai. Lebih-lebih bila si anak
sudah mulai merambah ke mana-mana, entah
merangkak ataupun berjalan.
Jika si anak telah makan makanan, maka
hukumnya sama dengan kencing orang dewasa,
sehingga disucikan dengan menuangkan air pada
tempat yang terkena air kencing itu.
Sebagaimana diriwayatkan tata cara seperti ini
dari Nabi n oleh Anas bin Malik :
ﺟَﺎﺀَ ﺃَﻋْﺮَﺑِﻲٌّ ﻓَﺒَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ، ﻓَﺰَﺟَﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﻓَﻨَﻬَﺎﻫُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ n
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻰ ﺑَﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ n ﺑِﺬَﻧُﻮْﺏٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ ﻓَﺄُﻫْﺮِﻳْﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Pernah datang seorang Arab dusun, lalu buang
air kecil di pinggiran masjid. Orang-orang pun
segera menghardiknya, maka Nabi n melarang
mereka. Setelah orang itu selesai buang air kecil,
beliau meminta seember penuh air, kemudian
menuangkan air itu pada bekas air kencing
itu.” (HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no.
284)
Sebaiknyalah air kencing segera dibersihkan,
walaupun bisa pula hilang sama sekali bekas itu
dengan angin atau sinar matahari selama
beberapa hari, karena dikhawatirkan kita lupa
bahwa di tempat itu masih ada bekas air kencing.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
pernah ditanya tentang suatu tempat yang
terkena najis, kemudian bekas najis itu kering
dengan sinar matahari.
Beliau menjawab, “Jika najis itu hilang dengan
penghilang apa pun, maka berarti tempat itu telah
suci. Karena najis adalah sesuatu yang kotor, jika
telah hilang sesuatu yang kotor itu, hilang pula
sifatnya (sebagai najis, pent.). Sehingga sesuatu
(yang terkena, pent.) pun menjadi suci lagi,
karena hukum dalam hal ini tergantung ada atau
tidaknya sebab. Menghilangkan najis ini bukan
termasuk masalah perintah yang dikatakan harus
dilakukan demikian, namun ini termasuk masalah
menghindari sesuatu yang harus dijauhi. Hal ini
tidaklah tertolak dengan adanya hadits tentang
kencingnya seorang A’rabi di dalam masjid dan
perintah Nabi n untuk dibawakan seember penuh
air lalu dituangkan pada air kencing tersebut,
karena perintah Nabi n menuangkan air itu untuk
menyegerakan penyucian. Karena tentunya tidak
bisa segera suci dengan sinar matahari, bahkan
butuh berhari-hari, sementara air bisa
menyucikan saat itu juga. Padahal masjid butuh
segera disucikan. Oleh karena itu, sepantasnya
seseorang segera menghilangkan najis, karena hal
ini merupakan petunjuk Nabi n. Juga karena ini
akan menghindarkan dari najis sehingga
seseorang tidak sampai lupa pada najis itu, atau
lupa pada tempat yang terkena najis
tadi.” (Majmu’ Fatawa, 11/248)
Yang seperti ini hendaknya diperhatikan sebaik-
baiknya oleh para ibu. Tidak sepantasnya hal ini
luput dari perhatian kita, agar kita senantiasa
dapat menunaikan ibadah kepada Allah dengan
lebih sempurna.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber : AsySyariah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

>> Tinggalkan Komentar Anda.. <<